- profil
Sabtu, 26 Agu 2023 13:11 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Setelah terpilih menjadi Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) RI Periode 2020-2024 pada Mei 2020, Rommy Fibri Hardiyanto, langsung mengkampanyekan visi baru LSF. Pria lulusan Kedokteran Gigi UGM ini ingin membangun LSF menjadi lembaga yang independen, akuntabel, kredibel dan profesional.
Di temui di kantornya di Kompleks Kantor Kemendikbud, Jakarta Selatan, Rommy membuka cerita bagaimana cara kerja LSF mulai berubah seiring perkembangan teknologi.
Ia mengungkapkan, sebelumnya cara kerja LSF adalah memeriksa film, lalu jika ada adegan yang dianggap melanggar langsung digunting dan ditempelkan kembali dengan selotip. Filmnya kemudian dikembalikan dan pita yang digunting di simpan di LSF.
“Sekarang berbeda, produser mengirimkan film dalam bentuk CDP (Cinema Digital Package), lalu LSF memeriksa dan memberikan catatan pada time code di adegan-adegan yang perlu diberikan catatan. Catatan time code itu lalu ditandatangani oleh anggota LSF dan dikirm ke produser film,” katanya.
Dari segi cara kerja menurut Rommy, perubahan yang terjadi hanya pada mediumnya. Jika dulu pita seluloid, kini dalam bentuk digital.
Namun, satu hal yang kemudian menurut Rommy membawa perubahan besar di LSF menyoal tentang proses penyensorannya, yakni menggunakan pendekatan dialogis.
“Dulu, LSF menggunting begitu saja. Maka timbul pertanyaan, bukankah itu artinya LSF juga menjadi ‘pembuat’ film? Karena terlibat langsung memotong-motong adegan film. Jadi siapa sebetulnya pemegang hak cipta atas film?” tanyanya.
Kini di bawah pimpinan Rommy, LSF melakukan pendekatan dialogis dengan cara membuka ruang diskusi dengan para pembuat film. “Atas adegan-adegan yang diberikan catatan, kami membuka diskusi dengan para pembuat film, sehingga pembuat film memiliki kesempatan untuk memperbaikinya, tidak asal menggunting,” tandas Rommy.
Hal itu lantaran cara kerja LSF dalam menyensor film adalah melihat keseluruhan cerita. “Bukan scene by scene,” terang Rommy.
Rommy mengaku memahami bahwa membuat film merupakan proses kreatif yang tidak mudah.
“Bayangkan jika kita sekedar menyensor berdasarkan scene by scene, kemudian adegan yang kita potong ternyata mempengaruhi alur cerita, tentu ini merugikan para pembuat film,” jelasnya.
Dengan berdialog, maka LSF juga memberikan ruang kepada para pembuat untuk menkoreksi atau merevisi adegan, tanpa perlu menghilangkannya sama sekali.
Prinsip dialogis ini, kata Rommy, bukannya tanpa dasar hukum.
“Jadi proses kreatif para pembuat film tidak kita ganggu, karena LSF bukanlah pemegang hak tunggal atas kebenaran,” jelas Rommy.
Prinsip dialogis ini, kata Rommy, bukannya tanpa dasar hukum. Tetapi sesuai dengan pasal 25 Peraturan Pemerintah RI No. 18 Tahun 2014 tentang LSF yang menyebutkan bahwa penyensoran film dan iklan film dilakukan berdasarkan prinsip dialogis dengan pemilik film dan iklan film yang disensor.
“Dialog juga dilakukan jika pemilik film atau iklan film merasa berkeberatan terhadap penggolongan (klasifikasi) usia yang ditetapkan LSF. Misalnya menurut pemilik film isinya masuk pada kategori 13+, tetapi menurut LSF masuk klasifikasi usia 17, maka dari situ nanti kita adakan dialog,” jelas Rommy.
Lalu apa hasil pendekatan dilaogis itu bisa diukur? Rommy menjawab dengan pendekatan dialogis, maka muncul kesadaran kolektif dari para pembuat film untuk tidak perlu kuatir mengeksplorasi kreatifitasnya dalam membuat film.
“Dengan begitu industri perfilman juga niscaya akan tumbuh,” pungkas Rommy.
Namun begitu, Rommy menegaskan, sesuai amanat UU, LSF tetap memiliki kewenangan untuk melindungi masyarakat dari tontonan negatif. Sehingga aturan baku seperti adegan pornografi atau kekerasan verbal, tetap disensor.
“Jadi adegan yang jelas ada ketelanjangan, atau adegan kekerasan seperti penggorokan yang dipertontonkan secara verbal, tetap disensor, ini sudah aturan,” katanya.
Pendekatan ke Semua Lapisan Masyarakat
Pendekatan dialogis bagi Rommy merupakan kerangka kerja yang penting selama ia memimpin LSF. Maka dalam menjalankan program-programnya, LSF banyak melakukan pendekatan ke berbagai lapisan. Mulai masyarakat umum, pelaku industri film, produser, sampai pelaku industri bioskop.
Sehari setelah dilantik menjadi Ketua LSF, Rommy bercerita langsung meminta kepada asistennya untuk dipertemukan dengan sejumlah sutradara film yang selama ini kritis terhadap keberadaan LSF.
“Asisten saya ngomong, yakin Mas? Nanti dihajar habis loh,” kata Rommy menirukan.
Tapi Rommy bersikukuh, ia mengaku justru ingin mendengar langsung cacian mereka terhadap LSF. Baginya, kritikan dan cacian terhadap LSF dalah bagian dari belanja masalah. Apalagi ketika itu ia baru saja memimpin LSF.
“Alhamdullilah setelah diskusi, mereka (para sutradara) memahami soal kerja-kerja LSF yang memang sesuai amanat UU No 33 Tahun 2009 ditugaskan melindungi masyarakat dari tontonan negatif, namun di saat bersamaan juga tidak ingin mematikan kreatifitas para pembuat film,” terang Rommy.
Terkait amanat UU tersebut, jelas Rommy, LSF menyadari secara penuh, bahwa upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif film tidak hanya cukup dengan kebijakan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).
Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat, berpengaruh besar terhadap peredaran dan pertunjukan film, dimana film saat ini tidak hanya disaksikan melalui layar bioskop dan televisi, namun dapat diakses melalui internet, platform digital dan media sosial.
Sehingga akses masyarakat terhadap film semakin mudah, tidak lagi dibatasi oleh tempat dan waktu. Sehingga masyarakat memiliki potensi mengakses konten perfilman yang tidak sesuai dengan klasifikasi usianya.
“Untuk itu, pendekatan ke masyarakat yang dilakukan LSF adalah mengadakan peningkatan literasi melalui program Budaya Sensor Mandiri, yaitu kita mengajak masyarakat agar lebih bijak dalam memilah dan memilih tontonan, sehingga masyarakat memiliki kepedulian dan kesadaran untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi usia,” kata Rommy.
Pria yang pernah menjadi wartawan Majalah Tempo, Direktur Harian Jurnal Nasional, produser TV Muhammadiyah, ini mengungkapkan, LSF juga menggandeng GPBSI (Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia) untuk mengkampamyekan klasifikasi tontonan melalui program Bioskop Sadar Sensor Mandiri.
Bioskop Sadar Sensor Mandiri berupa maskot badak Jawa bercula satu, cinema standee, iklan layanan masyarakat, poster, dan buku saku panduan film.
“Tujuannya agar masyarakat memiliki literasi tentang film. Sehingga nantinya dapat memilah dan memilih klasifikasi film sesuai usianya,” kata Rommy.
Dengan kampanye dan peningkatan literasi yang terus menerus, Rommy berharap masyarakat memiliki flter sendiri untuk menyesuaikan tontonan. Sebab lanjut Rommy, dengan berkembangnya teknologi dimana tontonan mudah diakses dari berbagai platform, LSF tidak tidak mungkin dapat menjangkau semuanya.
Selain itu, di bawah kepemimpinan Rommy, LSF menginisiasi program Desa Sensor Mandiri (DSM). Tiga pilot project DSM dicanangkan di Desa Tigaherang, Kecamatan Rajadesa, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat; Desa Manguharjo, Kecamatan Madiun, Kota Madiun, Jawa Timur; dan Desa Candirejo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
“Tahun 2022 kemarin, alhamdullilah telah di Desa Gekangang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur dan Desa Klungkung, Kota Denpasar, Bali. Pelaksanaan DSM ini kita bekerja sama dengan perguruan tinggi melalui gerakan Kampus Merdeka, kita harapkan dapat terus berkesinambungan,” terangnya.
Selanjutnya LSF juga membentuk Sahabat Sensor Mandiri yang menyasar dunia pendidikan. Tahun 2022, kampanye telah dilakukan melalui tiga sasaran yaitu mahasiswa dan dosen yang kita kenal dengan LSF goes to campus, pelajar dan guru dengan istilah LSF goes to school, dan sasaran komunitas yaitu LSF goes to community.
Program-program literasi yang berbasis kerangka kerja pendekataan dialogis ini nyatanya berhasil mendapatkan penghargaan dari Ombudsman RI. Pada 2022 LSF sukses meraih peringkat ketiga Predikat Kepatuhan Standar Pelayanan Publik kategori Lembaga Negara dengan nilai 88, 41.
“Kami sangat bersyukur, dan ini akan menjadi penanda bahwa LSF akan selalu melayani pemangku kepentingan perfilman dengan sepenuh hati,” jelas Rommy.
Capaian-capaian yang diperoleh Rommy selama memimpin LSF, tidak ingin ia sebut sebagai sebuah perubahan yang ia bawa atau prestasi yang ia toreh.
“Saya tidak ingin menyebut, ini perubahan yang saya bawa di LSF. Tidak, justru menurut saya, inilah yang memang seharusnya dilakukan LSF sejak dulu. Selain menjaga dan melindungi masyarakat dari tontonan negatif, LSF juga berperan aktif mendukung tumbuhnya industri perfilman dan tumbuhnya kesadaran dan tanggungjawab masyarakat terhadap tontonan yang mereka nikmati, inilah tugas LSF yang sesungguhnya,” pungkas Rommy.
Posted in profil