- Hukum
Jumat, 18 Agu 2023 09:43 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Kota Bandung yang dikenal sebagai kota yang aman tentram, mendadak ricuh. Kericuhan terjadi di depan Mapolrestabes Bandung, pada Rabu, (14/8/2023) dipicu protes warga atas kepemilikan lahan di Dago Elos Bandung. Mereka kecewa laporan mereka soal sengketa lahan di Dago Elos dianggap tidak ditindaklanjuti maksimal oleh Polrestabes Bandung.
Warga melempar dan menghujani petugas dengan batu, sementara aparat kepolisian melepaskan gas air mata dan berkali-kali terdengar suara letusan senjata. Beruntung tidak ada korban jiwa.
Kericuhan yang kemudian viral di media sosial itu, menyisakan banyak pertanyaan, termasuk mencuatnya nama keluarga Muller yang diklaim sebagai pemilik lahan yang telah ditempati warga selama puluhan tahun.
Sengketa bermula dari klaim Eigendom Verponding oleh tiga pewaris keluarga Muller telah diberikan kepada PT Dago Inti Graha.
Ketiganya, yaitu Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller, secara resmi menyerahkan Eigendom Verponding atau hak atas lahan ini pada tanggal 1 Agustus 2016 di hadapan notaris kepada PT Dago Inti Graha.
Atas penyerahan itu, PT Dago Inti Graha secara sepihak kemudian berencana menggunakan lahan untuk kepentingan bisnis perusahaannya. Padahal, fakta di lapangan, lahan itu telah ditempati warga selama puluhan tahun. Warga Dago Elos pun protes dan berupaya meminta keadilan.
Warga juga bersikukuh, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, bahwa Eigendom Verponding sudah tidak bisa dipakai sebagai hak atas tanah. Sehingga pewaris keluarga Muller pun dianggap tidak memiliki hak.
Lalu siapakah keluarga Muller yang namanya mendadak mencuat dalam kasus ini?
Dikutip dari beberapa sumber, leluhur keluarga Muller merupakan serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger (KNIL) bernama Georgius Hendrikus Muller yang lahir di Rotterdam, Belanda.
Nenek moyang Muller ini mendarat pertama kali di Batavia 11 Mei 1823. Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, dan Pipin Sandepi Muller adalah keturunan kelima dari keluarga Muller yang tinggal di Indonesia yang saat ini telah berstatus Warga Negara Indonesia (WNI).
Georgius Henricus Muller adalah seorang perwira militer Belanda yang ditugaskan di beberapa tempat di Indonesia pada abad ke-19.
Sebagai tentara KNIL, Georgius sempat bertugas di banyak tempat. Ia tercatat pernah bertugas di Pulau Seram, kemudian ke Yogyakarta pada tahun 1828, lalu Banjarmasin pada tahun 1831, dan akhirnya di Kedu pada tahun 1837.
Setelah pensiun dengan pangkat kapten, Georgius menetap di Pekalongan dan membuka perusahaan swasta dan menetap di Pekalongan hingga wafatnya pada tahun 1882. Uang pensiunnya sebesar 1200 gulden per tahun.
Pada tahun 1835, anak dari Georgius, yakni Henricus Muller menikahi Virginia Elisabeth Montignij di Salatiga. Pasangan ini memiliki banyak anak, sebagian besar adalah perempuan. Salah satu anak laki-lakinya bernama Georgius Hendricus Wilhelmus Muller.
Georgius Hendricus Wilhelmus Muller lahir pada 1842 di Salatiga dan dikenal sebagai Tuan Kebun yang sukses dengan perkebunan teh, kina, dan kopi. Keluarganya berpindah ke tanah Sunda dan bisnisnya berkembang di daerah Cicalengka, Nagreg, dan Balubur Limbangan.
Ia menikahi Munersih alias Mesi dari Desa Simpen, Limbangan, dan memiliki tiga anak: George Hendrik, Ani, dan Husni. Georgius meninggal di usia 75 tahun pada 1917 dan dimakamkan di Sentiong, Cicalengka.
George Hendrik, anak Wilhelmus Muller, lahir pada 24 Januari 1906 di Tegalsari, Salatiga. Ia menikahi Roesmah dan memiliki anak pertama pada 22 Agustus 1930 di Madiun.
Pada 1942, George Hendrik mendaftar sebagai prajurit Belanda. Bersama keluarganya, mereka kembali ke Belanda antara tahun 1949 dan 1957. Putranya, Gustaaf Muller, melaporkan kematian ayahnya dua puluh tahun kemudian.
Roesmah meninggal pada 1989, meninggalkan lima anak: Harrie Muller, Eduard Muller, Gustave Muller, Theo Muller, dan Dora Muller. Eduard Muller menikahi Sarah Sopiah Siahaya pada 1966 dan memiliki tiga anak: Herry Hermawan, Dody Rustendi, dan Pipin Sandepi.
Keluarga Muller diklaim memiliki tanah warisan dari leluhurnya yang tercatat secara administratif sejak masa pemerintahan Belanda. Klaim atas kepemilikan lahan inilah atau Eigendom Verponding, yang kemudian dialihkan oleh ketiga keturunan Muller itu kepada PT Dago Inti Graha.
Sedangkan PT Dago Inti Graha dimiliki oleh Jo Budi Hartanto. Duduk sebagai dirut adalah anaknya, Erwin Senjaya Hartanto, dan Lionny Sutisna sebagai komisaris.
Saham terbesar dimiliki Jo Budi senilai Rp 15 miliar, sementara Erwin dan Lionny masing-masing memiliki saham Rp 7,5 miliar.
Selain PT Dago Inti Graha, Jo Budi juga pemilik PT Tridayamas Sinarpusaka, sebuah perusahaan tekstil. Sedangkan Erwin juga memiliki perusahaan lain, yaitu PT Pusaka Mas Persada, yang merupakan pengembang perumahan dan bertanggung jawab atas proyek Green Sukamanah Residence di Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Posted in Hukum