- Ekonomi
Senin, 24 Jul 2023 15:51 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Peneliti ekonomi senior dari INDEF Prof Bustanul Arifin mengungkapkan ada empat faktor yangmebuat ketimpangan sosial di Indonesia masih terjadi.
Dalam ulasan yang dia sampaikan di acara diskusi virtual bertemakan “Kesenjangan Kaya-Miskin Semakin Melebar” Evaluasi Kebijakan dan Pekerjaan Rumah Bagi Capres 2024, Minggu (23/7/2023),
Hal pertama kata Prof Bustanul Arifin, pengelolaan sistem dan karakter dari ekonomi Indonesia masih dinilai buruk,
“Karakter pertumbuhan ekonomi yang bad quality, kualitasnya rendah, mengapa? dominasi sektor non tradable, itu terutama jasa yang tidak dapat dijangkau, oleh lapisan bawah tadi itu, terlalu dominan dibandingkan dengan pertanian manufaktur itu di Indonesia,” kata Prof Bustanul Arifin.
Kedua, pemerataan kepemilikan aset atau distribusi lahan itu buruk. “Tadi disampaikan, lahan petani sempit, naik jadi 54 persen (penyempitan hingga 54 persen) itu serius itu sangat serius,” ujarnya.
Kemudian, yang ketiga, akses terhadap produksi dan sumber daya terbatas. Selain itu, buruknya infrastruktur ekonomi dan sumber daya produksi tidak merata.
“Kemudian kebijakan pemerintah yang tidak efektif misalnya subsidi pangan, subsidi pendidikan subsidi pupuk banyak lagi determinan ini yang sudah ditunjukkan dengan beberapa angka,” sambungnya.
Ditambahkan Bustanul, hal yang menjadi esensi mengapa kesenjangan semakin melebar adalah tidak sesuaiannya capital income dan labor income. Jika persoalan ini diselesaikan, Bustanul meyakini kesenjangan akan semakin menipis.
Di acara yang sama, Rektor Universitas Paramadina Prof Dr Didik J Rachbini mengungkapkan, metode dalam melihat ketimpangan oleh para akademisi biasanya dengan melihat pendapatan masyarakat berdasarkan survei BPS.
“Seharusnya bukan pendapatan tapi pengeluaran. Tapi kalau melihat distribusi asset tanah atau deposito, atau tabungan, maka kesenjangan terlihat sangat tinggi. Aset tanah ketimpangannya sekitar 0,6-0,7. Di negara-negara Amerika Latin, jika ketimpangan tanah sudah 0,5 ke atas, maka yang terjadi adalah revolusi karena orang sudah marah karena penumpukan harta yang tidak wajar, katanya.
Menurut Didik, data BPS selalu tidak mencerminkan kondisi riil, dan cenderung tidak bisa digunakan untuk mengambil keputusan-keputusan strategis. Contohnya Ketimpangan gini rasio oleh BPS sepertinya tidak bermakna apa-apa dan baiknya tidak usah dijadikan acuan oleh para akademisi. Karena nampaknya tidak mencerminkan keadaan sebenarnya.
“Contohnya Ketimpangan gini rasio oleh BPS sepertinya tidak bermakna apa-apa dan baiknya tidak usah dijadikan acuan oleh para akademisi. Karena nampaknya tidak mencerminkan keadaan sebenarnya,” pungkasnya.
Posted in Ekonomi