- Hukum
Jumat, 14 Jul 2023 10:39 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Persoalan konflik lahan sawit di Indonesia sejak masifnya pembukaan lahan sawit di Indonesia untuk industri, ternyata masih banyak yang belum terselesaikan.
Hal ini terungkap dalam seminar dan peluncuran buku “Kehampaan Hak Rakyat di Hadapan Oligarki Menjelang Pemilu 20241” yang digelar di Universitas Paramadina bekerjasama dengan LP3ES, Kamis, (13/7/2023).
Menurut Prof. Ward Barenschott dari KITLV Leiden yang hadir sebagai salah satu pembicara, banyak konflik lahan sawit yang ternyata tidak dapat diselesaikan secara adil.
“Mekanisme resolusi konflik tidak efektif, karena umumnya dari 150 kasus yang diteliti, 68% kasus tidak terselesaikan,” katanya.
Di atas kertas, warganegara Indonesia memiliki beragam hak untuk melindungi kepentingannya, oleh karenanya perusahaan harus meminta persertujuan warga sebelum memasukkan tanah warga ke dalam sebuah perusahaan.
Secara de facto, riset menemukan bahwa warga masyarakat amat sulit mendapatkan hak hak nya. Perlindungan terhadap kepentingan warga desa menjadi tidak efektif. Perusahaan juga harus memperoleh berbagai perizinan dan mematuhi segala aturan yang ada.
Dalam banyak kasus, juga komunitas warga berhak atas skema bagi hasil yakni skema inti plasma atau kemitraan. Akhirnya, warga juga punya hak untuk mengorganisasi diri dan memprotes.
“Namun yang jadi persoalan adalah bagaimana realisasi hak hak tersebut, itulah yang dimaksud dengan “Kehampaan hak”. Secara resmi memang ada hak, tetapi isinya kosong. Dalam protes-protes warga, sering terjadi kriminalisasi dan represi/kekerasan,” ujarnya.
Sementara, Prof Afrizal dari Universitas Andalas mengatakan, konflik lahan sawit yang sering terjadi antara rakyat dan perusahaan dengan cakupan obyek sengketa mencapai ratusan bahkan ribuan hektar, harusnya menjadi indikasi bahwa ini persoalan besar dan harus diselesaikan.
“Pemerintah pusat dan daerah harus menindak tegas perusahaan yang menolak kewajiban dan menolak terlibat dalam penyelesaian konflik,” saran Afrizal.
Sedangkan menurut Akademisi STH (Sekolah Tinggi Hukum) Indonesia, Jentera, Bvitri Susanti, buku yang ditulis oleh Ward Barenschott dan Afrizal merupakan yang pertama kali membahas terkait masalah Kehampaan Hak rakyat atau warga negara atas lahan-lahan milik mereka yang dirampas perusahaan kelapa sawit.
“Para pegiat HAM dan keadilan hukum harus mampu memetakan masalah kehampaan hak agar bergerak lebih sistematis,” katanya.
Menurut Bvitri, ada relasi kuasa yang tidak seimbang antara pemerintah kolonial dengan pribumi namun setelah kemerdekaan relasi buruk tersebut tidak pernah dibedah setelah kolonialisme pergi.
“Dan ternyata pemerintah Kolonial sekarang digantikan oleh oligarki. Jadi relasinya pada Reproduksi. Kalau dulu kolonialisme, sekarang adalah korporasi. Lalu di mana pemerintah? Mestinya dia memediasi relasi yang tidak seimbang tersebut,” sambung Bvitri.
Menurut Bvitri, persoalan lahan juga tidak terlepas dari warisan persoalan era kolonial.
“Masalah besar pertanahan saat ini terjadi karena terkait dengan hukum kolonial. Rata-rata negara eks kolonial tidak membongkar hukum kolonial karena dia ternyata menguntungkan orang yang punya kekuasaan,” jelasnya.
Menurutnya tidak ada yang berubah setelah lebih 70 tahun merdeka. Yang berbeda, munculnya pemain baru yakni Civil Society.
“Civil society yang tidak hanya mengganggu oligarki tapi juga berupaya melaksanakn edukasi hukum kritis terhadap hak hak warga,” terangnya.
Posted in Hukum