- Hukum
Senin, 18 Nov 2024 19:44 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Kuasa hukum Tom Lembong menyatakan kliennya tidak pernah mendapat teguran dari Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) selama menjabat Menteri Perdagangan periode 2015-2016. Tom juga mengaku tidak mendapat teguran terkait kebijakan ekspor gula.
Hal itu diungkapkan pengacara Tom Lembong, Zaid Mushafi dalam sidang perdana praperadilan di PN Jakarta Selatan, Senin (18/11/2034).
“Faktanya selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan, pemohon tidak pernah mendapat teguran dari Presiden yang menjabat saat itu,” ujar Zaid Mushafi.
Menurut kuasa hukum Tom Lembong, jika ada kebijakan yang salah sebagai Menteri Perdagangan, tentu presiden akan menegurnya. Faktanya, menurut Zaid, sama sekali tidak ada teguran.
Selain itu, menurut Zaid, penetapan tersangka kepada Tom Lembong oleh Kejagung RI tak didasarkan dua alat bukti. Pihak Tom Lembong dan kuasa hukumnya, bahkan belum mengetahui detail dokumen mana yang menjadi alat bukti permulaan yang dijadikan dasar penetapannya sebagai tersangka.
Zaid juga menyebut Kejagung keliru menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka, pasalnya persetujuan impor gula tersebut sudah terjadi sebelum kliennya menjadi Menteri Perdagangan.
Dia menilai, ada kekeliruan yang dilakukan Kejagung lantaran kliennya menyetujui soal impor gula saat Tom Lembong belum menjabat sebagai Mendag.
Selain itu, Kejagung juga seharusnya menelusuri aliran dana kepada sejumlah perusahaan karena menganggap Tom Lembong melakukan tindak pidana korupsi.
“Jika hal tersebut dianggap sebagai tindak pidana korupsi memenuhi Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor, harus dibuktikan aliran dana dari 8 perusahaan swasta dimaksud kepada pemohon. Bahwa dalam perkara ini tidak ada hasil audit investigatif BPK RI yang menyebutkan telah terjadi kerugian keuangan negara,” tuturnya.
Atas dasar hal tersebut, kuasa hukum menyatakan bahwa penetapan Tom Lembong sebagai tersangka tidak sah karena tidak ada bukti cukup, yakni tidak adanya hasil audit BPK yang menyatakan Tom Lembong merugikan negara hingga Rp400 miliar.
“Adapun pernyataan termohon telah terjadi kerugian Negara sebesar Rp400 Milyar tanpa didasarkan hasil audit BPK RI merupakan perbuatan abuse of power serta merupakan bentuk kriminalisasi terhadap pemohon,” katanya.