- Index
Selasa, 29 Okt 2024 19:54 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS) periode 2025-2029 tinggal menghitung hari. Tepatnya, pada 5 November 2024 warga negara Amerika akan melakukan pemungutan suara serentak.
Menariknya, meski masyarakat AS juga mencoblos atau memilih calon presiden yang dipilih pada surat suara atau surat elektronik, tidak serta merta calon presiden yang mendapat suara terbanyak terpilih menjadi presiden.
Mengapa demikian? Karena menurut konstitusi AS, presiden tidak dipilih secara langsung oleh masyarakat, melainkan oleh lembaga yang dikenal dengan istilah electoral college atau lembaga pemilih.
Ketika warga AS datang ke tempat pemungutan suara, selain mereka memilih calon presiden, mereka sebenarnya memilih orang-orang yang bakal duduk dalam electoral college, meskipun mereka juga memilih presiden.
Tugas utama anggota electoral college adalah memilih presiden dan wakil presiden. Mereka bekerja setiap empat tahun sekali, yakni beberapa pekan setelah pemungutan suara oleh masyarakat di negara bagian. Pada saat itulah mereka menjalankan tugas.
Anggota electoral college dicalonkan oleh partai politik di tingkat negara bagian. Umumnya, orang-orang berisi petinggi partai atau sosok yang berafiliasi dengan kandidat presiden dari partainya.
Jumlah electoral college setiap negara bagian berbeda-beda mengikuti proporsi dan populasi suatu negara bagian. Saat ini jumlah electoral college sebanyak 538 orang.
California menjadi negara bagian dengan elektoral terbanyak yakni 55 orang. Sedangkan Wyoming, Alaska, dan North Dakota, yang jumlah penduduknya sedikit memiliki elektoral minimal tiga orang. Setiap orang dalam electoral college memiliki hak satu suara.
Menurut ketentuan, seorang kandidat kandidat presiden harus mendapatkan suara terbanyak, minimal 270 suara elektoral atau lebih untuk bisa terpilih menjadi presiden AS.
Ada aturan tambahan untuk penghitungan suara elektoral ini. Yaitu, jika satu kandidat memperoleh suara elektoral lebih dari 50% di suatu negara bagian, maka kandidat tersebut akan memperoleh seluruh suara dari anggota electoral college negara bagian itu, atau istilahnya winner takes all.
Jadi misalnya, satu negara bagian mempunyai 100 eletoral, lalu salah satu kandidat memperoleh 60 suara elektoral, maka kandidat itu berhak atas 100 suara elektoral seluruhnya.
Dalam UU pemilu AS, dari 50 negara bagian, hanya Maine dan Nebraska yang tidak memberlakukan aturan winner takes all. Dua negara bagian ini tetap membagi suara sesuai perolehan kandidat. Dalam istilah perebutan suara, dua negara ini disebut swing state.
Lalu bagaiman jika kandidat presiden memenangkan suara terbanyak masyarakat akan tetapi kalah dalam perolehan electoral college?
Dapat dipastikan bahwa kandidat tersebut gagal terpilih menjadi Presiden AS meskipun memenangkan suara masyarakat. Sebab ini sekadar menandakan popularitas semata, bukan tingkat keterpilihan.
Jadi sangat mungkin terjadi seorang kandidat menjadi yang paling populer secara nasional di kalangan pemilih, tapi gagal mendapatkan minimal 270 suara dari anggota electoral college.
Contohnya, pada pilpres 2016, Hillary Clinton memperoleh suara masyarakat 3 juta lebih banyak dari Donald Trump. Tapi Trump yang berhak menjadi Presiden AS karena sukses meraup suara terbanyak di electoral college.
Sementara pada tahun 2000, George W Bush mendapatkan 271 suara electoral college. Padahal calon presiden dari Partai Demokrat, Al Gore, mendapat setengah juta suara lebih besar dari masyarakat ketimbang Bush.
Selain Trump dan Bush, ada pula tiga presiden AS di masa terdahulu yang mengalami hal ini. Yaitu ke-19, yaitu John Quincy Adams, Rutherford B Hayes dan Benjamin Harrison pada abad ke-19.
Posted in Index, Internasional