- Index
Senin, 23 Sep 2024 11:52 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Target pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, mendapat tanggapam dari Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin.
Dalam diskusi bertajuk “Prospek Kebijakan Ekonomi Prabowo (Mustahil Tumbuh 8 Persen Tanpa Industrialisasi)” di Jakarta, Minggu (22/9/2024), Samirin meminta pemerintahan Prabowo Subianto tidak terlalu terpaku pada target pertumbuhan ekonomi tersebut.
“Dalam sejarah Indonesia, kita baru mengalami pertumbuhan ekonomi di atas delapan persen itu lima kali sepanjang sejarah. Umumnya dipicu oil booming,” ujar Wijayanto.
Menurut Wijayanto meskipun Indonesia sempat menuai keuntungan dari meledaknya harga minyak pada era pemerintah SBY, namun hal itu belum mampu mendongkrak hingga 8%.
“Pada era SBY ledakan harga minyak hanya membuat pertumbuhan sebesar 6,35 persen atau belum mencapai delapan perse. Sehingga dengan situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian saat ini, Wijayanto pesimistis target delapan persen akan terealisasi,” ujarnya.
Selain itu, Wijayanto melihat jika besarnya PDB menjadi rujukan bagi pemerintahan Prabowo untuk menetapkan target dianggap kurang tepat.
Sebab dalam penghitungan PDB banyak hal penting yang tidak tercatat seperti persoalan ketimpangan, kualitas lingkungan, dan keberlanjutan.
“Kalau kita terlalu fokus mengejar pertumbuhan delapan persen itu seolah menjadi dogma. Khawatirnya, hal-hal buruk tersebut justru terjadi seperti masalah lingkungan, ketimpangan, dan masalah sosial lainnya,” sambung Wijayanto.
Wijayanto berharap Prabowo dapat mengubah paradigma pembangunan yang tidak lagi mengandalkan SDA. Wijayanto mengingatkan bahwa cadangan enam minerba utama Indonesia hanya senilai lima triliun dolar AS dengan nilai cadangan SDA per kapita sebesar 19.600 dolar AS atau posisi 39 dunia.
Karenanya Wijayanto mendorong Prabowo menggenjot sektor industrialisasi yang di berbagai negara merupakan indikator kredibel bagi kemajuan ekonomi suatu negara.
Wijayanto menyebut kemajuan Inggris, Amerika Serikat dan Jerman, serta kemunduran peran Cina dan India dalam percaturan ekonomi dunia terefleksikan dengan jelas oleh indeks industrialisasi masing-masing negara.
“Sementara Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami deindustrialisasi bergeser ke sektor Jasa, sebelum mencapai PDB per kapita yang tinggi,” lanjut Wijayanto.
Wijayanto menyebut kontribusi dua sektor terpenting yakni manufaktur dan pertanian justru terus merosot. Hal ini mengakibatkan penciptaan lapangan kerja dan pajak terhambat, serta kemiskinan semakin meningkat.
“Kita harus fokus bukan pada ukuran pertumbuhan PDB, tetapi kepada kualitas dari pertumbuhan itu sendiri. Sangat disayangkan pemerintah tidak melihat industrialisasi sebagai faktor penting,” tutup Wijayanto.