Deretan Kontroversi Baleg DPR, Dari Rapat Mendadak Hingga Abaikan MK

-
Rabu, 21 Agu 2024 18:49 WIB

No Comments

Deretan Kontroversi Baleg DPR, Dari Rapat Mendadak Hingga Abaikan MK

Jakarta, Vibrasi.co–Rapat Panitia kerja (Panja) RUU Pilkada melalui Badan Legislasi DPR RI yang berlangsung hari ini, Rabu (21/8/2024) menuai kritik tajam. Pasalnya, rapat tersebut menghasilkan keputusan yang melawan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat calon kepala daerah.

Namun ternyata,  bukan hanya keputusan rapat saja yang memancing kontroversi. Jadwal rapat yang terkesan mendadak pun menuai sorotan.

Rapat kilat Baleg DPR

Pantauan Vibrasi.co, jadwal rapat baleg pada Rabu pagi (21/8/2024) mendadak muncul dalam agenda DPR. Bahkan dalam website resmi DPR, agenda rapat ini sama sekali tidak terjadwal.  

Rapat  mulai berlangsung pukul 10.00 WIB, turut hadir dalam rapat adalah Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, pakar hukum, anggota Baleg DPR dari masing-masing fraksi DPR. 

Selanjutnya rapat hanya berlangsung satu jam, dengan pembahasan pengumpulan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) sebagai bahan untuk pengesahan RUU Pilkada.

Proses berjalannya rapat berlangsung lancar, meski sempat terjadi interupsi oleh PDIP namun seluruh peserta rapat setuju mengajukan DIM yang telah disepakati.

Setelah itu, rapat diskors untuk istirahat makan siang. 

 

Rapat berlanjut kembali pada pukul 15.30 yang agendanya penyampaian pendapat fraksi-fraksi. Dalam rapat ini juga berjalan mulus dan kilat. Seluruh fraksi hampir tidak ada yang memberikan pendapat yang menentang keras rujukan DIM sebagai bahan pembentukan RUU pilkada.

Alhasil, pimpinan rapat Baleg DPR Ahmad Baidowi alias Awiek menyimpulkan RUU Pilkada disetujui oleh mayoritas partai. Selanjutnya rapat memutuskan membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada beranggotakan 40 orang.  Keputusan ini diketok pada pukul 16.55 WIB.

“Kami sudah menerima anggota Panja sebanyak 40 orang. Maka rapat ini akan berlanjut pada rapat Panja RUU Pilkada,” kata Baidowi. 

Dalam jadwal selanjutnya, Panja akan menggelar rapat malam ini, untuk memutuskan sejumlah DIM yang akan dibawa ke Rapat Paripurna ke-3 masa persidangan I tahun sidang 2024-2025, besok, Kamis (22/8/2024). 

Seluruh proses pembahasan RUU Pilkada ini terkesan mendadak, apalagi berlangsung sehari setelah keluar putusan MK soal batasan usia calon kepala daerah dan syarat dukungan partai politik.

Namun Baidowi menolak mengatakan rapat ini mendadak. Ia menyebut bahwa RUU Pilkada sudah menjadi inisiatif DPR sejak lama. 

“Tidak ada yang dadakan, RUU ini usul inisiatif DPR sejak november 2023,” kata Awiek. 

Mengabaikan putusan MK

Selain terkesan mendadak, hasil dari rapat baleg inilah  yang paling tajam menuai sorotan. Pertama, Baleg DPR seruju menggunakan Putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menjadi DIM pada RUU Pilkada dan mengabaikan putusan MK.

Baleg DPR telah menyepakati untuk mengubah syarat batas usia calon kepala daerah sesuai dengan Putusan MA No. 23 P/HUM/2024.

“Setuju ya merujuk pada Putusan Mahkamah Agung ya?” ujar pimpinan rapat Ahmad Baidlowi. 

Ada perbedaaan antara putusan MA dan Putusan MK soal syarat batas usia calon kepala daerah.  Jika pada putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 menyebutkan bahwa usia minimal calon kepala daerah 30 tahun saat mendaftar, maka Putusan MA No. 23 P/HUM/2024 menyebut usia minimal 30 tahun saat kepala daerah dilantik.

Putusan MA ini terbit pada 29 Mei 2024 dengan Ketua Majelis Yulius, Anggota Majelis 1 Cerah Bangun, dan Anggota Majelis 2 Yodi Martono Wahyunadi. Termohon putusan ini merupakan Ketua KPU Hasyim Asy’ari.

MA memerintahkan termohon untuk mencabut ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9/2020 yang mengatur soal syarat minimal usia kepala daerah ketika mendaftar karena bertentangan dengan UU No. 10/2016 tentang Pilkada.

 

Dengan demikian, syarat minimal usia 30 tahun untuk gubernur-wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati-wakil bupati atau calon wali kota-wakil hanya berlaku ketika mereka dilantik, bukan ketika mendaftar.

Keputusan kontroversi kedua menyoal syarat mengajukan calon yang memiliki kursi di DPR RI dan partai nonparlemen. Rapat Baleg menolak menggunakan putusan MK terkait syarat dan ambang batas pencalonan di Pilkada. 

Sebelumnya MK melalui putusan No. 60/PUU-XXII/2024 melonggarkan batasan atau threshold partai yang akan mengajukan calon kepala daerah. 

MK memutuskanm threshold pencalonan kepala daerah tidak lagi 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

MK menyamakan threshold dari partai dengan pencalonan kepala daerah jalur perseorangan sebagaimana aturan Pasal 41 dan 42 UU Pilkada. 

Yakni semua partai berhak mengajukan calon asalkan memenuhi persyaratan perolehan suara sesuai wilayah yang bersangkutan. Di antaranya, partai atau gabungan partai memiliki ambang batas perolehan suara minimal 6,5 persen tanpa harus memiliki kursi di DPRD. 

Namun Baleg DPR RI berkehendak lain, mereka sepakat bahwa putusan MK yang menurunkan ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah hanya berlaku bagi partai politik (parpol) tanpa kursi di DPRD atau nonparlemen.

Sementara parpol yang memiliki kursi di DPRD tetap menggunakan syarat minimal 20 kursi. Sedangkan ambang batas minum 6,5 hanya berlaku bagi partai nonparlemen.

 

Share :

Posted in ,

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

iklanIKN

Berita Terbaru

Rekomendasi Untuk Anda

Berita Terpopuler

Share :