- Index
Selasa, 20 Agu 2024 10:22 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Universitas Paramadina bekerjasama dengan INDEF menyelenggarakan diskusi publik bertajuk “Kemerdekaan dan Moral Politik Pemimpin Bangsa” pada Senin (19/8/2024).
Diskusi menghadirkan sejumlah pembicara antara lain Wijayanto Samirin, ekonom Universitas Paramadina, Didin S. Damanhuri Guru Besar Universitas Paramadina, serta ekonom senior INDEF Faisal Basri.
Wijayanto Samirin mengungkapkan analogi bahwa negara yang awalnya berpotensi besar dapat berubah menjadi “bekas negara” jika tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Wijayanto mengibaratkan Indonesia sebagai mobil rongsok yang tak terawat, dan hal ini tercermin dalam berbagai krisis yang dihadapi negara.
Ia mengkritisi reformasi yang seharusnya membawa perubahan positif, namun justru memunculkan masalah seperti korupsi yang melanda KPK, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung.
Selain itu, terjadinya penurunan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sejak 2018 menurut Wijayanto merupakan masalah serius dalam pemberantasan korupsi. Di bawah pemerintahan Presiden Jokowi, ia mencatat bahwa indeks ini stagnan dan bahkan menurun menjelang akhir masa jabatan presiden.
“Sejak 2018, indeks persepsi korupsi Indonesia terus melejit dari 17 ke 40. Itu titik puncak prestasi kita dalam pemberantasan korupsi. Setelah 2018 melorot drastis dari 17 ke 34 dalam waktu kurang dari 4 tahun. Ini adalah indikasi bahwa negara sedang punya masalah besar,” kata Wijayanto.
Penurunan ini, kata Wijayanto, juga diikuti dengan merosotnya indeks demokrasi dan kebebasan pers.
Sementara itu, Didin S. Damanhuri menyoroti krisis moral yang melanda bangsa, terutama dalam 10 tahun terakhir. Didin juga mengkritik upaya ambisius beberapa pemimpin untuk memperpanjang masa jabatan, penundaan pemilu, serta manuver politik yang tidak bermoral, seperti pengangkatan Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden melalui keputusan kontroversial dari Mahkamah Konstitusi.
Menurut Didin, hal ini menunjukkan krisis moral di kalangan elite politik dan masyarakat secara keseluruhan.
Didin juga mencatat bahwa praktik-praktik politik yang mengabaikan etika dan moralitas ini mengingatkan pada konsep “Machiavellian politik”.
Ia menghubungkan kondisi saat ini dengan munculnya oligarki yang semakin kuat sejak 2014, yang berdampak pada hilangnya kontrol terhadap kekuasaan dan runtuhnya etika elit politik.
Dampaknya, hukum digunakan sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan, sementara masalah kemiskinan dan kesejahteraan rakyat semakin diabaikan.
Padahal kata Didin, moralitas merupakan pegangan etik para politisi.
“Moral atau etik adalah sebuah pedoman ketatanegaraan yang harus dipatuhi oleh para elit negara, yang notabene telah diabaikan termasuk pada Pancasila dan UUD 45,” papar Didin.
Sementara, Faisal Basri mengingatkan pentingnya moralitas dari segi ekonomi. Ia mengingatkan kembali asal kata “ekonomi” yang berasal dari “Oikos Nomos,” yang berarti aturan rumah tangga.
“Ekonomi itu harus melindungi yang lemah dan menciptakan tatanan sosial yang harmonis,” kata Faisal.
Faisal menyoroti kerusakan institusi ekonomi di bawah pemerintahan Jokowi, dengan aturan yang dilanggar dan institusi yang lemah.
“Insititusi dalam kehidupan bernegara ibarat ‘’fondasi’’, dengan pilar-pilar pertanian, industri, dan lain-lain, Atapnya adalah social safety net untuk melindungi rakyat kecil. Tidak boleh ada si miskin yang homeless, atau terpinggirkan” ujar Faisal.
Faisal melanjutkan, “Jokowi telah merusak fondasi itu, sehingga rumah Indonesia ini pilarnya oleng. Tidak mampu menopang social safety net,” tambahnya.
Faisal lalu mengangkat kasus minyak goreng Airlangga Hartarto yang menurutnya adalah kesalahan Jokowi yang telah melarang ekspor minyak goreng.
“Aturan main telah dirusak dengan mengorbankan kambing hitam. Pengusaha CPO tidak perlu mengekspor kalau harganya sama dengan harga ketika dijual ke Martua Sitorus. Di situ persoalannya. aturan dan tatanan dalam institusi harus ada, yang akan menimbulkan perilaku yang baik dan benar. Yang terjadi, institusi dirusak,” tegas Faisal.