- Ekonomi
Sabtu, 17 Agu 2024 17:38 WIB
Oleh : Prof. Didik J Rachbini, Ph.D, Guru Besar dan Ekonom Senior Indef
Penerimaan negara dipatok Rp 2.997 triliun, terutama bersumber dari dari pajak sebesar Rp 2.490 triliun. Apakah ini masuk akal dan feasible?
Sesuai tren perkembangan penerimaan negara RAPBN tahun sebelumnya (Rp 2.802 triliun) dan target penerimaan pada 2024 sebesar Rp 2.309 triliun sepertinya sasaran ini feasible karena tidak naik pesat dibandingkan dengan penerimaan negara dan penerimaan pajak dari tahun sebelumnya.
Pemerintah saat ini masih pesimis target penerimaan pajak pada anggaran berjalan tahun 2024 akan bisa dicapai. Apalagi tantangan pada tahun 2025 jauh lebih besar lagi. Janji kampanye yang menuntut pengeluaran besar, sementara penerimaan pajak tidak bisa digenjot lebih dari kapasitasnya sekarang.
Kondisi sekarang cukup berat saat daya beli masyarakat turun. Kelas menengah juga kondisinya berat bahkan turun kelas. Target ini sulit atau bahkan tidak bisa dicapai jika ekonomi tumbuh stagnan di bawah atau di sekitar 5% dan tidak sesuai janji kampanye presiden terpilih yang akan tumbuh lebih tinggi lagi.
Tidak usah seperti janji kampanye pertumbuhan ekonomi 8%, jika pertumbuhan ekonomi bisa didorong 6-6,5%, maka sasaran penerimaan pajak tersebut bisa dicapai.
Jadi, faktor ekonomi makro pertumbuhan ekonomi, inveastasi dan iklim investasi serta kegiatan perdagangan terutama ekspor akan menentukan target penerimaan pajak tersebut bisa dicapai atau tidak.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sekarang bisa dicapai jika ada kebijakan makro struktural dengan mendorong investasi dan ekspor sebagai lokomotif. Dalam hal kebijakan seperti ini, Indonesia kalah dengan negara tetangga Vietnam dan Filipina.
Dalam postur RAPBN kita dapat melihat dan membahas defisit APBN Indonesia yang terus berlanjut dari tahun ke tahun bahkan terus meningkat. Defisit anggaran RAPBN 2025 yang direncanakan Rp 616,2 triliun.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, defisit ini sangat besar dan mau tidak mau harus ditambal dengan utang. Selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi ini kebijakan utang memang ugal-ugalan sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo.
Dengan janji politik yang banyak sekali, sulit bagi pemerintahan yang akan datang bisa mengurangi ketergantungan pada utang dengan mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada. Sehingga laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat dan merusak iklim makro karena suku bunga akan didorong naik terus.
Sampai pertengahan tahun 2024 ini, Surat Berharga Negara (SBN) yang telah ditawarkan setidaknya hampir Rp 1.000 triliun, tetapi yang laku di pasar hanya separuhnya sekitar Rp 517 triliun. Sebelumnya tahun 2023, SBN yang ditawarkan di pasar mancapai Rp 1.800 triliun, tetapi yang laku di pasar sebesar Rp 807 triliun. Jadi, selama 10 tahun ini pemerintah Jokowi sudah mendorong ekonomi utang masuk jurang sehingga harus gali lubang tutup lubang.
Pemerintahan SBY mewariskan utang sekitar Rp 2.608 triliun. Sepuluh tahun berikutnya jumlah utang mencapai Rp 8.338 triliun, naik tiga kali lipat dengan pembayaran bunga yang sangat tinggi sebesar Rp 497 triliun. Beban bunga utang ini jauh lebih besar dari pos anggaran kementerian, sektor maupun provinsi manapun. Jika dibandingkan misalnya dengan APBD provinsi, pembayaran utang ini 1.600 lebih tinggi dibandingkan total APBD rakyat Jawa Barat.
Sekarang daya beli masyarakat turun. Target pertumbuhan ekonomi 5% sebenarnya tidak cukup untuk memulihkan daya beli tersebut. Jadi harus ada upaya reformasi sgruktural agar tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dari, yang ditargetkan 5,2% pada tahun 2025. Ini diperlukan agar ada ruang lebih untuk mendukung peningkatan penerimaan pajak.
Namun, jika daya beli masyarakat melemah atau terjadi tekanan inflasi yang tinggi, maka kemampuan masyarakat untuk membayar pajak bisa terpengaruh. Pemerintah sekarang akan berjibaku menjaga keseimbangan antara pengumpulan pajak dan tidak memberatkan ekonomi masyarakat.
Dalam hal penerimaan pajak dan menjaga momentum ekonomi yang baik, faktor internal kementrian keuangan dan direktorat jenderal pajak ke dapan akan sangat menentukan. Kemampuan Kementrian Keuangan dan sekaligus siapa menterinya akan menjadi faktor kritis.
Reformasi perpajakan mutlak perlu terus dilanjutkan, termasuk digitalisasi dan perluasan basis pajak. Sektor apa saja yang harus digali, tidak bisa tidak adalah sektor industri (non-migas), termasuk jasa, sebagai tiang utama.
Tetapi sektor ini melorot dan tumbuh rendah serta mengalami stagnasi bertahun-tahun karena tidak ada sentuhan kebijakan. Jika pertumbuhan sektor ini bisa tumbuh 8-10%, maka pengumpulan pajak akan mendapat ruang yang leluasa.
Sektor baru yang harus digali tidak lain adalah ekonomi digital dan ekonomi kreatif, termasuk sektor terlantar yakni pariwisata. Dengan berkembangnya e-commerce, fintech, dan layanan berbasis digital, sektor ini merupakan peluang besar untuk menambah penerimaan pajak melalui pengenaan pajak pada platform digital dan transaksi daring.
*) Prof. Didik J Rachbini, Ph.D, Guru Besar dan Ekonom Senior Indef