- Index
Rabu, 07 Agu 2024 11:30 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Muhammad Ali mengatakan, buku berjudul “Sea Power Indonesia di Era Indo-Pasifik” karya Laksamana TNI (Purn.) Prof. Marsetio, KSAL periode 2012–2014, bakal menjadi bacaan wajib para perwira TNI AL.
Menurut Ali, buku ini berisi pengetahuan penting mengenai situasi geopolitik di Indo-Pasifik dan Laut China Selatan. Sehingga buku ini perlu dibaca oleh para perwira muda yang nantinya akan menjadi generasi penerus TNI AL.
“Buku memberikan wawasan yang berharga, membuka pemikiran baru, dan membantu kita memahami lebih dalam tentang bagaimana mengoptimalkan kekuatan laut kita untuk kepentingan nasional dan regional”, ujar Ali.
Dia juga mengucapkan terima kasih kepada Prof Marsetio yang telah meluangkan waktunya membuat buku yang bermanfaat bagi perwira TNI AL.
“Saya mengucapkan selamat dan terima kasih kepada Prof. Marsetio yang telah meluncurkan buku ini. Buku ini penting bagi TNI Angkatan Laut terutama bagi generasi muda Angkatan Laut,” kata Laksamana Ali saat jumpa pers selepas acara peluncuran buku di Wisma Elang Laut, Jakarta, Selasa, (6/8/2024).
KSAL juga berjanji bakal memberikan buku terbarunya itu ke seluruh jajaran perwira Armada TNI AL. Yakni Komando Armada (Koarmada) I, Koarmada II, dan Koarmada III.
Sementara penulis buku, Marsetio, menyebut buku itu merupakan kelanjutan dari buku Sea Power Indonesia, yang terbit 2014.
Dalam buku terbarunya itu, Marsetio menyampaikan pandangannya mengenai kekuatan maritim (sea power) Indonesia di tengah kontestasi militer Amerika Serikat dan China di kawasan Indo-Pasifik.
Angkatan Laut Amerika Serikat, katanya, tidak meratifikasi dan menandatangani Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS), dan atas nama kebebasan berlayar (freedom of navigation).
Menurut Marsetio, kapal-kapal perang Amerika Serikat saat ini berlayar dengan bebas di perairan internasional. Termasuk di Laut China Selatan yang 99 persen wilayahnya secara sepihak diklaim milik oleh China.
Dengan demikian, menurut Marsetio, potensi konflik terbuka di Laut China Selatan dapat terjadi kapanpun. Namun ia menulis dalam bukunya, ada peluang mengubah perairan Laut China Selatan yang rentan konflik menjadi kawasan kerja sama.
Dia mencontohkan kerja sama itu dapat melalui Arctic Council yang berdiri pada 19 September 1996. Saat ini konsil tersebut ini beranggotakan delapan negara yaitu Kanada, Denmark, Finlandia, Islandia, Norwegia, Rusia, Swedia, dan Amerika Serikat.
“Kenapa tidak dibentuk misalnya Indo-Pacific Council, South China Sea Council?. Di buku saya juga saya tulis seharusnya negara-negara dunia memahami Sustainable Development Goals (SDGs),” ujarnya.