- Index
Rabu, 24 Jul 2024 12:01 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J Rachbini, mengaku merasa kehilangan dengan wafatnya Presiden ke-9 Hamzah Haz. Wapres di era Presiden Megawati tersebut wafat pada Rabu, (23/7/2024) di Jakarta dalam usia 84 tahun.
“Selamat jalan ak Hamzah Haz. Kita kehilangan lagi politisi negarawan, sekaligus penulis, pemikir dan kolumnis yang rajin memberikan pencerahan masalah-masalah ekonomi politik, hal kenegaraan, khususnya politik anggaran dan APBN,” ujar Didik dalam keterangannya, Rabu (23/7/204).
Didik menyebut, Hamzah Haz merupakan politisi yang tekun menulis masalah politik APBN ini di media massa pada akhir 1980-an dan tahun 1990-an.
“Tidak hanya menulis tetapi menekuninya dalam praktek kenegaraan dalam pembahasan-pembahasan di DPR dimana ia sekaligus sebagai pimpinan partai opposisi yang loyal,” tambah Didik.
Menurut Didik, Hamzah Haz merupakan sosok pemimpin yang matang dan wakil presiden yang negarawan pemikir, menyukai gagasan-gagasan bangsa dalam bidang politik dan ekonomi, yang seharusnya disajikan dalam diskursus publik.
“Berbeda dengan jaman sekarang yang matang dikarbit, tidak menyukai pemikiran, sekedar populer dan cuma menyukai mainan anak-anak. Sementara Hamzah Haz yang menjadi wakil presiden, menang bersaing dengan SBY banyak menulis pemikirannya di media besar nasional, seperti Kompas, Republika, Tempo pada tahun 1980-an dan 1990-an,” ujar Didik.
Lalu apa bisa ditiru dari sosok Hamzah Haz? Didik menyebut Hamzah Haz memiliki komitmen terhadap kepentingan nasional secara keseluruhan tenpa meninggalkan aspek realitas dan rasional.
Didik menyebutkan sejyumalh kiprah Hamzah dalam mengedepankan kepentingan nasional.
“Sebagai contoh, 20 tahun lalu terjadi krisis APBN Hamzah Haz turun gunung untuk ikut menyelesaikannya. Pada pertengahan tahun 2000-an atau 2005 pro kontra kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memuncak dan bisa mengarah ke krisis politik.” katanya.
Sebagai Wakil Presiden, Hamzah Haz juga terlibat langsung dalam lobi-lobi untuk mengatasi krisis APBN sekaligus potensi krisis politik. Subsidi kepada barang adalah pemborosan dan harus diganti menjadi subsidi kepada orang.
“Hamzah Haz ikut mendinginkan suasana dan meskipun tidak populer kemudian menyetujui kenaikan harga BBM dengan alasan kenaikan tersebut sebagai pilihan rasional,” tegas Didik.
Terkait hal tersebut, Didik menilai Hamzah Haz tergolong pemimpin yang pro kebijakan harus berbasis evidence (evidence based policy).
Menurut Didik, itu yang harus dilakukan oleh para politisi masa kini. Akan tetapi saat ini politisi mengeruk APBN dan mendulang utang di luar kemampuan membayarnya.
Didik berpendapat, meminta mestinya Sri Mulyani bisa berdiri rasional dalam kebijakan seperti Hamzah Haz.
“Tetapi kasus Perpu 01 dan utang 1520 trilyun rupiah pada tahun 2020 dengan alasan covid adalah kesalahan sejarah keputusan APBN, yang dampaknya bisa sampai 2-3 periode kepresidenan. Kini beban utang super berat, tahun utang jatuh tempo mencapai 800 trilyun dan bunga yang harus dibayar mjenguras pajak rakyat, mencapai lebih 500 trilyun rupiah,” ujarnya.
Karenanya Didik merasa prihatin karena tidak ada lagi sosok seperti Hamzah Haz yang menjaga APBN.
“Hamzah Haz APBN rusak pada sisi penerimaan, sekaligus lebih rusak pada sisi pengeluarannya. Selain rusak karena kesalahan politik dan kebijakan di pusat, APBN juga menjadi target korupsi dan bancakan yang masif di banyak daerah kabupaten/kota, propinsi serta di banyak kementrian dan lembaga negara,” tutupnya.