- Index
Selasa, 30 Apr 2024 19:56 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Prof. Dr. H. Jimly Asshidiqie mengajak semua elemen bangsa untuk mulai membiasakan diskusi akademik ketimbang mempertontonkan kemarahan.
Jimly mengakui, dalam sejarah politik Indonesia, belum pernah muncul gelombang kemarahan yang demikian luas di kalangan elit intelektual dan para tokoh bangsa terkait keputusan Mahkamah Konstitusi.
Meski begitu, Jimly mengatakan, para intelektual tidak boleh membiarkan ruang publik rusak dengan kebencian dan kemarahan. Intelektual justru harus membaliknya menjadi diskusi akademik yang produktif dan bersikap menerima.
“Etik sangat beririsan dengan peradaban, sehingga etika dijadikan sebagai bahan acuan. Jika dikaitkan dengan Pilpres, maka muncullah pertanyaan apakah kita sebagai masyarakat dapat memanfaatkan momentum?” kata Jimly dalam seminar yang digelar PIEC (Paramadina Institute for Ethics and Civilization), di Jakarta, Selasa, (30/4/2024).
Menyoal putusan MK, Jimly menjelaskan mengenai perubahan UU melalui perkara pengujian dinyatakan sah dan harus dijadikan rujukan dalam penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan jadwal pendaftaran.
Tetapi proses pengambilan keputusan di antara 9 hakim konstitusi, dinyatakan bermasalah oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Karena itu, Ketua MK Anwar Usman sebagai hakim Konstitusi yang menurut UU kekuasaan kehakiman maupun kode etik hakim konstitusi harus mundur dari penanganan perkara.
Selanjutnya yang bersangkutan juga terbukti melakukan pelanggaran berat kode etik MK, sehingga masyarakat menilai putusan tersebut mencederai demokrasi.
Hal inilah yang menimbulkan narasi yang dilandasi oleh kebencian dan kemarahan, yaitu julukan kepada MK sebagai Mahkamah Keluarga.
“Etika atau adab adalah kunci bagi kemajuan tingkat peradaban bangsa di masa depan. Adab atau keadaban kemanusiaan harus dipahami beririsan dengan prinsip Keadilan dan bahkan Ketuhanan dalam kehidupan umat manusia. Ketiganya, yaitu Ketuhanan, Keadilan dan Keadaban merupakan Trisila kunci dalam menentukan ketinggian kualitas peradaban umat manusia di sepanjang sejarah” jelas Jimly.
Dalam tataran etika, Jimly menyebutkan lima pembagian etika dimana “theological ethics yaitu etika yang dipahami sebagai bagian dari ajaran agama, yaitu ontological ethics.
Menurut Jimly, ontological ethics yaitu etika sebagai obyek kajian filsafat, obyek kajian ilmiah tentang ajaran moral positif atau positives ethic.
Moral positif ini memunculkan kebutuhan untuk menuliskan panduan-panduan etika perilaku dalam kehidupan bersama yang terorganisasi.
Selanjutnya functional ethics, yaitu munculnya kebutuhan untuk menegakkan kode etik dan kode perilaku tertulis secara efektif dengan dukungan infra-struktur pelembagaan institusi penegak kode etik dan kode perilaku.
“Kemudian court of ethics, yaitu era keterbukaan di mana proses penegakan kode etik dan kode perilaku dipandang sebagai proses peradilan yang menurut prinsip-prinsip negara modern harus bersifat independen, imparsial, dan terbuka” kata Jimly.
Ia juga menambahkan, demokrasi di dunia sedang mengalami cobaan. “Saat ini sedang terjadi gelombang democratic regression di seluruh dunia, tidak hanya terjadi di Indonesia dan harus dilihat sebagai trend kemunduran demokrasi di seluruh dunia. Khususnya di Indonesia, budaya politik kita saat ini adalah kerajaan hanya namanya saja republik. Lain hal dengan Austalia yang bentuk pemerintahannya monarki tetap bertindak seperti republik” jelasnya.
Saat ini menurut Jimly, oligarki dan totalitarianisme baru tengah menyeruak di Indonesia. Karenanya ia meminta semua pihak dan elemen bangsa kembali menjaga moral etik.
“Saat ini etika berbangsa dan bernegara perlu di perbaiki dan di tata, karena ini merupakan gejala baru yang terjadi di dunia termasuk Indonesia,” tutupnya.