- Opini
Kamis, 04 Apr 2024 13:12 WIB
Oleh : Wahyu Muryadi
Bersama Mas Yudhistira ANM Massardi (juga Bang Yusril Djalinus, Nani Wijaya, dan Arif Affandi Jawa Pos), saya “dengan sangat terpaksa”, pernah berbarengan mengikuti Penataran P4 di Hotel Samudra Beach, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, yang khusus diikuti puluhan wartawan.
Seingat saya peristiwanya di awal 1993 saat Kepala BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dijabat Prof.Alwi Dahlan–ia jadi salah satu pembicara, dan kelak menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet Soeharto.
Saat itu dari meja kami berempat paling heboh lantaran jadi provokator perusak acara: kalau pembicaranya lewat waktu atau kelewat membosankan, maka kami berbarengan memberi isyarat agar sesi acara dihentikan.
Caranya dengan memutar-mutar jari di bibir gelas minuman kosong sehingga berbunyi ngiiiing-ngiiing-ngiiing…Serentak kode kami ini diikuti peserta lainnya. Ndilalah ampuh. Pembicara, siapapun mereka, sontak menyetop bicaranya.
BACA JUGA : Yudhistira ANM Massardi, Wartawan Sekaligus Sastrawan Produktif Itu Berpulang
Di sela acara, kami berunding ihwal acara yang sangat “tidak menarik, dan tidak menyenangkan” ini. Lalu ujungnya bikin Seruan Pelabuhan Ratu. Intinya menyerukan kepada pemerintah dan khalayak, wabil khusus semua peserta, bahwa penataran P4 kali ini hanyalah yang terakhir kalinya. Tak perlu diterus-teruskan. Pelbagai mudaratnya kami sertakan sebagai alasan dan konsideran.
Sebelum acara berakhir, hampir semua peserta, tak terkecuali Mas Yudhis, giliran saya provokasi agar melakukan dua perkara yang jangan sampai dilewatkan kalau singgah di Pelabuhan Ratu: silaturahmi dengan Mak Erot (ehm tau kan untuk apa?) yang kala itu praktek dan kantor pusatnya tak jauh dari hotel. Plus jangan lupa sowan mendatangi kamar khusus penuh mistik di hotel tersebut yang konon tempat tetamu berkomunikasi dengan Nyi Roro Kidul.
Saat berada di dalam, lukisan gedem sepertinya repro Sang Ratu karya maestro Basoeki Abdullah yang digambarkan jelita dengan rambut terurai, dipajang. Berikut sejumlah pusaka dan sesajen.
Yudhis yang bicaranya kalem, seperti halnya kembarannya Noorca Massardi, hanya bisa mesam-mesem menjalani saran iseng saya itu.
Seingat saya hanya Arif Affandi dan saya yang berbarengan masuk kamar mistik itu–anehnya setibanya di kamar tidur saya, aroma kembang dan kemenyan masih membuntuti. Arif Affandi –belakangan menjadi Wakil Walikota Surabaya– ketakutan dan mengaku bulu kuduknya merinding.
Saya lupa mengkonfirmasikan apa yang dirasakan Mas Yudhis, tak juga bertanya apa pula yang dibatinnya kala itu. Yang jelas, ketika kami bertemu sekian tahun kemudian, dia hanya tertawa mengenang peristiwa yang baginya sungguh bersejarah itu. Juga menggelikan..
Tatkala Orba berakhir dan diikuti penghentian penataran yang kadung diwajibkan tsb, Mas Yudhis, Arif Affandi dan semua teman saling bertukar SMS dan teleponan berteriak kegirangan.
Posted in Opini