- Risalah
Rabu, 03 Apr 2024 22:38 WIB
Oleh : Nasrullah Ali Fauzi
Nama pria itu cukup singkat: Fajiyusni. Lahir di Mensere, Sambas, Kalimantan Barat, 23 Februari 1993. Punya anak satu dari istrinya yang bernama Yeni Rahmawati. Pada Sabtu petang, 23 Maret 2024, saya dan Suraban –kawan setahap Fajiyusni–mengantarnya ke Bandara Kota Kinabalu (KK) karena dia akan terbang ke Kuching, Sarawak.
Itulah hari terakhir Fajiyusni di Sabah setelah mengabdi dua tahun sebagai Guru Bina pada Community Learning Centre (CLC) FGV, Lahad Datu, sejak 24 Maret 2022. Walau masa tugasnya di Sabah cukup singkat, ada beberapa pengalaman menarik sekaligus dramatik yang sudah dilaluinya, termasuk istrinya. Khususnya berkaitan dengan persoalan visa atau izin tinggal.
Pengalaman pertama dialami istrinya pada 04 Juli 2022. Waktu itu Yeni terbang ke Sabah untuk menjenguk suaminya di Lahad Datu. Maklum keduanya masih pengantin baru. Sebelum ke Sabah, ia masuk Sarawak melalui perbatasan Aruk (Indonesia)-Biawak (Malaysia) sehingga di paspornya terdapat cop keluarmasuk imigrasi tanggal 04 Juli 2022.
Kemudian lanjut terbang ke Sabah sehingga di paspornya terdapat cop masuk tanggal 05 Juli 2022. Sebulan kemudian, persisnya pada 04 Agustus 2022, Yeni berencana terbang kembali ke Sambas dari Sabah –dan juga harus melalui Kuching, Sarawak. Tiket pesawat sudah di tangan sesuai tanggal kepulangan. Tiada yang tahu soal rencana tersebut, kecuali sepasang suami-istri itu saja.
Tiba-tiba, pada hari yang sama, saya mendapat kabar dari Fajiyusni: istrinya tertahan di Imigrasi Bandara KK. Dia tidak boleh terbang ke Kuching karena visa sosialnya terkategorikan sudah tamat tempoh alias sudah habis masa berlaku. Dia masuk Sarawak pada 04 Juli 2022, seharusnya keluar Sabah-Sarawak pada 03 Juli 2022.
Karena itu, Yeni harus segera urus special pass (SP) di Kantor Jabatan Imigrasi Malaysia (JIM) Sabah. Dan untuk itu, sohib saya Suardi Tammu selalu setia membantu sampai semua beres. Dan pada 06 Agustus 2022, Yeni akhirnya bisa
terbang ke Kuching dan terus masuk Aruk.
Pengalaman lain dialami Fajiyusni pada 08 Juni 2023. Dia harus kembali ke Sambas karena ayahnya wafat. Sementara paspornya masih di KK untuk pembaharuan visa (masa berlaku sampai 23 Maret 2023). Untung saja proses visa selesai pada 06 Juni 2023.
Maka terjadilah drama singkat di Bandara KK waktu itu: Fajiyusni sejak pagi naik mobil dari Lahad Datu menuju KK. Sesampai di bandara dan seraya berjalan ke ruang masuk, ia menerima paspornya dari tangan rekan saya Aksar yang sudah setia menantinya di sana dengan sabar.
Pengalaman paling dramatis justru terjadi tatkala Fajiyusni akan meninggalkan Sabah karena purna tugas. Sesuai tiket, dia rencananya akan pulang pada 21 Maret 2024 (visanya habis 23 Maret 2024). Untuk pembatalan visa, ia terpaksa mengirim paspornya lewat jasa sebuah perusahaan pengiriman barang yang cukup terkenal.
Paket itu dia kirim ke alamat saya di Sekolah Indonesia KK pada 13 Maret 2024. Bagaimanapun, setelah beberapa hari, paket itu tenyata belum sampai juga ke tangan saya. Justru pemiliknya sendiri yang lebih dahulu sampai Kepada 18 Maret 2024. Fajiyusni sudah berulangkali menanyakannya kepada perusahaanpengiriman tersebut. “Masih dalam perjalanan.
Tunggu sahaja nanti pasti tiba,” begitu selalu jawaban yang didapat. Lebih aneh lagi adalah ini. Pada 21 Maret 2024,
waktu di mana pada hari itu Fajiyusni sudah harus terbang ke Kuching sesuai tiket, diperoleh informasi secara online bahwa paket itu sudah pernah sampai Likas, malah nyasar sampai Kuching, Sarawak!
Astaghfirullah… Maka, pada hari itu juga, saya dan Fajiyusni bersepakat untuk membuat laporan polisi bahwa paspor yang ditunggu sudah hilang entah di mana (bukan dikirim paketan). Dan dari Balai Polis Kepayan, kami langsung ke Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu (KJRI KK) dengan maksud membuat paspor baru atau Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP).
Sampai siang hari itu belum ada pilihan apa pun dan keadaan serba dilematis. Yang pasti adalah tiket KK-Kuching waktu itu sudah tak mungkin bisa dipakai lagi alias hangus. Dalam pikiran kami, kalau paspor baru diterbitkan, otomatis
paspor lama –yang masih misterius itu– akan terbatalkan. Paspor baru pun secara peraturan tidak bisa diterbitkan oleh KJRI KK karena Fajiyusni akan habis kontrak (tidak bertugas lagi di Sabah sebagai Guru Bina).
Bagaimana kalau buat SPLP? Ini bisa dilakukan dengan konsekuensi ini: paspor lama tetap terbatalkan dan Fajiyusni masih harus buat paspor baru di Indonesia nanti kalau dia mau ke luar negeri lagi. Pokoknya tujuan utama saat itu:
dia bisa keluar Sabah-Sarawak dengan SPLP, walau harus buat SP lagi di JIM.
Tapi, nanti dulu. Di tengah kegalauan, Fajiyusni ternyata sangat berharap paspornya masih bisa didapatkan. Ini karena dia sudah punya rencana lain yang tak kalah penting, yang belum pernah dia ceritakan kepada siapa pun, termasuk saya dan Suraban: dia dan istrinya sudah punya tiket dan visa umrah menggunakan paspor misteriusnya dan akan berangkat pada 25 Maret 2024. Berangkatnya pun dari Kuching pula!
Omg! Sejak itu, saya hanya bisa bilang begini padanya: “Di sisa bulan Ramadhan yang suci ini, mari kita bersama menantikan keajaiban dari Tuhan tanpa henti berikhtiar dan berdoa. Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik.
Kalau memang ada rezeki, paspormu akan tetap datang dan kamu bisa umrah.…” Tiba-tiba, pada Sabtu pagi, 23 Maret 2024, persis di hari visanya tamat, Fajiyusni kirim whatsapp ke saya: “Pak, alhamdulillah, kiriman sudah sampai .”
Allahu akbar. Tanpa pikir panjang, saya langsung minta dia beli tiket segera untuk terbang ke Kuching pada siang atau sore hari. Lalu saya bergegas ke sekolah untuk mengantarnya ke Bandara KK bersama Suraban. Di tengah perjalanan, saya sempat koordinasi dengan Lucky Fathria Jatnika (KP CLC Wilayah Sarawak) untuk kemungkinan bisa bantu mengawal perjalanan Fajiyusni dari Kuching sampai perbatasan Biawak-Aruk.
Menurut Lucky, karena visa Fajiyusni sudah habis pada 23 Maret 2024, sementara perbatasan Biawak-Aruk akan tutup pada pukul 16.00 waktu setampat, maka kemungkinan besar dia harus bermalam dulu di Kuching semalam dan baru
berangkat ke perbatasan keesokan harinya. Begitulah ceritanya. Sampai Ahad petang, 24 Maret 2024, Fajiyusni mengirim whatsapp. “Pak Nas, alhamdulillah, saya sudah berjumpa dengan anak dan keluarga. Terima kasih banyak, Pak Nas, dan semua KP atas bantuan yang diberikan….”
Alhamdulillah. Plong. Tugas kami selesai. “Terima kasih juga sudah membantu pelayanan pendidikan bagi anak pekerja Indonesia di CLC FGV,” jawab saya. Lalu, empat hari kemudian (28/03/2024), Fajiyusni kirim kabar lagi yang sangat
mengejutkan: “Alhamdulillah, Pak, sekarang kami sudah di Mekkah….” Labbaika Allaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbaika…
Kota Kinabalu, 30 Maret 2024
Posted in Risalah