- News
Selasa, 06 Feb 2024 16:09 WIB
Jakarta, Vibrasi.co–Pemerintahan terpilih di masa mendatang memiliki pekerjaan rumah yang besar terkait pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Demikian kesimpulan yang muncul dalam diskusi Diskusi Universitas Paramadina ‘Masalah APBN, Utang dan Tax Rativo Rendah. PR Presiden Yang Akan Datang’, Senin (5/2/2024).
Rektor Universitas Paramadina Prof Didik J Rachbini melihat kinerja APBN saat ini tidak seimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Hal itu tercermin dari APBN yang terus digenjot dari sisi pengeluarannya, misalnya anggaran bantuan sosial (Bansos) yang terus meningkat. Untuk tahun 2024 mencapai Rp 496 triliun.
“Kita punya masalah APBN itu diperkosa, diinjak-injak dari sisi pengeluaran. Mau Bansos Rp 496 triliun, belum bayar utang Rp 500 triliun, pendidikan 20 persen (dari APBN) Rp 600 triliun, transfer daerah itu Rp 800 triliun. Mau tambahan apalagi?” kata Didik dalam pengantarnya.
“Karenanya harus ada kontrol dari para akademisi. Jadi, politik itu membikin kerajaan dan memaksimumkan budget dikeruk semua, jadi harus ada yang rasional,” ujarnya.
“Jadi, janji-janji Presiden, itu mau gini mau itu dari mana uangnya itu pertanyaan yang harus kritis,” ujarnya.
Sementara, Mantan Dirjen Pajak periode 2001-2006 Dr Hadi Poernomo mengatakan, saat ini tax ratio Indonesia mengalami penurunan.
Menurut Hadi, tax ratio tahun 2022 tercatat 10,4% (Audited). Pada 2023 turun menjadi 10,2% (un-audited). Lalu tahun 2024 Menkeu Sri Mulyani memperkirakan sebesar 9,53%, tahun 2025 10,12%, 2026 sekira 10,31%, dan 2027 menjadi 10,41%.
“Dari data-data di atas bisa kita tanyakan mengapa tax rasio Indonesia tidak bisa mencapai angka maksimal seperti periode pemerintahan sebelumnya. Pada Era Gus Dur tahun 2000 tax rasio sekira 11% atau 2001 sebesar 11,3%,” kata Hadi.
Hadi juga menjelaskan, pada 2004 ketika Presiden Megawati menyerahkan tax rasio kepada Presiden SBY sebesar 12,2%. Pada 2014 ketika Presiden SBY menyerahkan ke Presiden Jokowi, tax rasio sebesar 10,85%.
Prediksi Sri Mulyani tax rasio tahun 2024 sebesar 9,53% ketika penyerahan kepada Presiden baru. Ironisnya, pada 2008 tax rasio sempat menyentuh 13,3%.
Meski begitu, menurut Hadi, UU Perpajakan saat ini sudah cukup mengakomodir kenaikan rasio pajak. Sebab UU Perpajakan ini menggunakan single identification number sebagai monitoring perpajakan di Indonesia.
Dengan ini maka wajib pajak harus membuka dan menyambung sistemnya ke Perpajakan. Termasuk juga hal-hal yang rahasia, dengan dasar hukum UU No. 28/2007 dan UU No.9/2017.
“Itulah kekuatan dari Undang-undang Perpajakan sekarang. Kalau saja semua pihak melaksanakan hal hal itu sesuai dengan Undang-undang, maka seharusnya tax rasio Indonesia akan tinggi sekali,” katanya.
Karenanya Hadi mendorong agar budaya transparansi harus terus ada peningkatan di Indonesia.
“Jika transparansi sudah terbangun maka semua pihak di Indonesia “terpaksa” harus jujur,” ujar Hadi.
Senada dengan Hadi, Ketua Center Ekonomi Digital dan UKM INDEF Eisha M. Rachbini, Ph.D, juga mengungkapkan rasio pajak Indonesia tergolong kecil di ASEAN.
“Tax Ratio Indonesia (2021) berada di bawah negara Asia Pacific (20%) dan China (21%). Di bandingkan negara ASEAN, Vietnam, Philippines, Cambodia berkisar di level 18%, dan Thailand 16%. Sedangkan Negara maju, Jepang memiliki tax ratio 33% dan OECD 34%,” ujarnya.
Menurut Eisha, saat ini jumlah pekerja informal di Indonesia cukup besar sehingga mempengaruhi besaran rasio pajak.
“Pada Agustus 2023 jumlah pekerja informal sebanyak 82,67 juta orang (59,11%), sedangkan Pekerja formal sebanyak 57,18 juta orang (40,89%). Jumlah ini meningkat jika melihat Agustus 2022 yang sebesar pekerja informal 80,24 juta orang (59,31%), pekerja formal dan 55,06 juta orang (40,69%) pekerja formal,” ujarnya.
Karenanya Eisha mendorong pemerintahan terpilih nanti harus mampu memanfaatkan bonus demografi untuk meningkatkan rasio pajak.
Di sisi lain, pemerintah mendatang juga harus bisa memanfaatkan sektor ekonomi informal tersebut dengan melakukan digitalisasi pada UMKM non formal.
“Selain itu pemerintah juga harus mampu meningkatkan nilai tambah produk komoditas ekspor,” pungkasnya.
Posted in News