- Uncategorized
Jumat, 15 Des 2023 17:09 WIB
II Princeton, Vibrasi.co–Ketum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyoroti hak istimewa milik lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB atau permanent five (P5). Terutama pengaruhnya terhadap penegakan Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Ia menjelaskan, pasca-Perang Dunia II, DK PBB yang terdiri dari lima negara pemenang perang memiliki hak veto untuk menanggapi situasi internasional. Namun sayangnya, hak istimewa tersebut kerap melemahkan legitimasi PBB.
“Setelah Perang Dunia II, Dewan Keamanan PBB–dengan lima negara pemenang perang sebagai anggota tetapnya–menawarkan mekanisme yang masuk akal dan berpotensi realistis untuk menegakkan Piagam PBB dan UDHR,” kata Gus Yahya.
Gus Yahya menyampaikan hal tersebut saat memberikan pidato dalam “The Future of the Universal Declaration of Human Rights: Toward a Global Consensus that the World Diverse Peoples, and Nations Should Strive to Fulfil,” di Universitas Princeton, New Jersey, Amerika Serikat Rabu (13/12/2023).
Gus Yahya menilai bahwa pemberian hak veto telah melemahkan legitimasi PBB dan memungkinkan terjadinya pelanggaran aturan oleh pihak-pihak yang mengejar tujuan tersendiri melalui berbagai upaya politik, ekonomi, dan militer.
“Pemberian hak veto kepada kelompok ‘P5’ terhadap resolusi-resolusi untuk menegakkan konsensus internasional yang telah disepakati sebelumnya telah melemahkan legitimasi PBB,” katanya.
Lantaran hak istimewa tersebut membuat anggota tetap DK PBB bisa menggunakan hak veto untuk melindungi kepentingan mereka dan sekutunya. Bahkan jika hal tersebut bertentangan dengan konsensus internasional.
“Dan juga memungkinkan terjadinya pelanggaran aturan oleh pihak-pihak yang terus mengejar tujuan mereka melalui upaya ekonomi, militer, dan kekuatan politik yang melanggar Piagam PBB,” katanya.
BACA JUGA : Ketum PBNU Yakin Dengan Netralitas Polri
Gus Yahya mencatat peran besar negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, dalam membentuk tatanan internasional pascaperang. Ia menilai, kekuatan ekonomi, militer, dan politik negara-negara Barat menjadi pilar utama dalam mendukung tatanan tersebut.
Namun, ia menyebut bahwa dunia kini mengalami pergeseran ke arah multi-kutub, di mana kekuatan Barat mengalami kemunduran.
“Ketika negara-negara lain memanfaatkan peluang keterbukaan, keamanan, dan stabilitas sistem internasional pascaperang, kekuatan Barat yang tadinya hegemonik kini mengalami kemunduran. Dunia multi-kutub pun mulai muncul,” paparnya.
Menurut Kyai Yahya, hal ini sebagai momen berbahaya dalam sejarah dunia, terutama karena ada potensi penyalahgunaan kekuatan politik dan militer.
“Di tengah dunia yang semakin multi-kutub, kekuatan Barat dan budaya Barat saja tidak cukup untuk mempertahankan. Apalagi menguatkan dan meningkatkan, tatanan internasional berbasis aturan untuk menjaga kedaulatan nasional dan hak asasi manusia,” jelas dia.
“Yang membuat situasi ini semakin berbahaya adalah penyalahgunaan kekuatan politik, militer, dan budaya Barat untuk menerapkan standar ganda. Sambil mengklaim menegakkan konsensus internasional pascaperang, sehingga melemahkan kredibilitas Barat di mata negara-negara Global South,” terangnya.
Meskipun demikian, Gus Yahya meyakini bahwa masih ada harapan untuk mengatasi tantangan tersebut. Ia memandang bahwa kerja sama antarumat manusia dari berbagai agama dan negara dapat menjadi langkah penting dalam mengatasi tantangan global.
Gus Yahya mendorong untuk menyelaraskan ajaran agama dengan konsensus internasional yang menjunjung tinggi hak asasi dan martabat manusia.
“Salah satu langkah penting adalah menyelaraskan ajaran agama kita dengan konsensus internasional yang muncul setelah Perang Dunia ke II. Kemudian memobilisasi komunitas kita masing-masing untuk membangun tatanan dunia yang berdasarkan penghormatan terhadap persamaan hak dan martabat,” tutupnya.
Posted in Uncategorized