- Risalah
Sabtu, 15 Apr 2023 23:23 WIB
Setiap penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal, isu tentang perbedaan hasil penghitungannya kerap mengemuka. Di Indonesia perbedaan itu terjadi antar dua organisasi muslim terbesar, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Secara umum, dua organisasi ini menggunakan dua metode yang berbeda. Muhammadiyah menggunakan hisab, sedangkan NU memakai Rukyat. Kedua metode ini sebenarnya saling melengkapi dan telah digunakan oleh para ilmuwan muslim sejak dahulu.
Mengutip keterangan “Informasi Hilal Awal Ramadhan 1444 H 29 Sya’ban 1444 H / 22 Maret 2023 di Indonesia” keluaran Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU), hisab merupakan metode falak hitungan numerik-matematik yang digunakan untuk menetapkan awal bulan Hijriyah tanpa verifikasi faktual atau tanpa rukyah (mengamati) hilal pada saat mendekati momentum pergantian bulan.
Melansir situs Muhammadiyah, metode hisab yang digunakan Muhammadiyah mengacu pada gerak faktual Bulan di langit sehingga bermula dan berakhirnya bulan kamariah berdasarkan pada kedudukan atau perjalanan Bulan. Metode hisab ini dikenal dengan hisab hakiki.
Secara sederhana, hitungan hisab dilakukan secara cermat dan teliti dalam kaidah astronomi jauh sebelum bulan qomariyah berganti. Alhasil, penentuan pergantian bulan dapat diketahui meskipun bulan itu belum berganti.
Sementara metode yang digunakan NU, adalah rukyatul hilal yang dalam teori dan prektiknya berupa pengamatan atau observasi langsung terhadap hilal. Apa itu Hilal? Hilal merupakan lengkungan bulan sabit paling tipis yang berkedudukan pada ketinggian rendah di atas ufuk barat pasca matahari terbenam (ghurub) dan bisa diamati.
Praktik pengamatan terhadap hilal dibagi menjadi tiga metode, yakni dengan mata telanjang, menggunakan alat optik (teleskop), hingga yang termutakhir menggunakan alat optik yang terhubung sensor/kamera.
Alat-alat pengamatan diletakkan pada titik-titik yang relevan dalam pengamatan langit. Misalnya di ujung barat atau ujung timur Indonesia.
Hasil pengamatan terhadap hilal terbagi menjadi tiga pula, mulai dari kasatmata telanjang (bil fi’li), kasatmata teleskop, dan kasat–citra.
Seluruh pengamatan ini kemudian disimpulkan oleh para ahli falak dan ahli hisab untuk menjadi sebuah keputusan.
Menariknya, NU juga menempatkan metode falak (hisab) yang baik sebagai landasan awal untuk rukyatul hilal. NU memiliki sistem hisab jama’i (tahqiqy tadqiky ashri kontemporer), yang memperhitungkan segenap metode falak yang berkembang di tubuh NU.
Dari sisi ilmiah astronomis, menurut Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika, titik temu yang ditawarkan secara astronomi dari perbedaan ini adalah bagaimana menentukan kriteria yang tepat dari masing-masing metode.
Metode hisab harus memiliki kriteria yang bisa dipertanggungjawabkan, begitupun metode rukyatul hilal harus melandasi pengamatannya dengan kriteria keilmuan yang memadai. Jadi, kedua metode ini dapat diterima sebagai kesepakatan bersama. Wallahualam bish-shawab.
Posted in Risalah