Bagaimana Kehidupan Berjalan di Jalur Gaza?

-
Minggu, 15 Okt 2023 10:59 WIB

No Comments

israEL14

Jakarta, Vibrasi.co–Jalur Gaza merupakan bentangan tanah sempit sepanjang 25 mil yang bersisian dengan Laut Mediterania, antara Israel dan Mesir.

Jalur Gaza awalnya di bawah kendali Mesir. Kemudian saat negara Israel didirikan pada tahun 1948, banyak pengungsi Palestina yang dipaksa pindah ke jalur tersebut.

Pada tahun 1967, Israel menguasai Gaza setelah kemenangannya dalam Perang Enam Hari melawan Mesir, Suriah dan Yordania.

Kemudian tahun 2000 pecah konflik bersenjata antara Israel–penguasa Gaza saat itu–dengan kelompok militan Hamas yang dibantu warga Gaza.

Tidak ada pemenang dalam konflik tersebut, namun  Hamas dan penduduk Gaza berhasil membuat Israel hengkang dari Gaza pada 2005. 

Israel menarik hampir seluruh pasukannya di Gaza serta memindahkan seluruh warganya yang berjumlah sekitar 9.000 orang untuk keluar dari Gaza. Sejak itulah Jalur Gaza di bawah kendali Hamas, organisasi perlawanan Palestina.  

Palestina memiliki dua organisasi perlawanan yang kuat pengaruhnya. Hamas dan Fatah. Kelompok Fatah cenderung mengambil jalan diplomasi, sedangkan kelompok Hamas mengambil peran yang berbeda, dengan cara angkat senjata. 

Sepeninggal Yasser Arafat, kekuatan dan pengaruh Fatah melemah, sebaliknya Hamas justru semakin menguat.

Jalur Gaza merupakan rumah bagi 2,2 juta orang, dengan panjang 41 km (25 mil) dan lebar 10 km, wilayah ini menjadi salah satu wilayah terpadat di dunia. 

Saat ini Jalur Gaza di bawah kendali penuh kelompok Hamas, yang mengusir pasukan yang setia kepada Otoritas Palestina (PA) atau pasukan resmi pemerintahan Palestina setelah terjadi keretakan hubungan Hamas-Fatah pada tahun 2007.

Sejak dikuasai Hamas, Israel dan Mesir telah membatasi pergerakan barang dan orang yang masuk dan keluar dari Gaza, dengan mengatakan bahwa blokade mereka diperlukan untuk alasan keamanan.

Untuk sumber listrik, penduduk Gaza bergantung pada satu-satunya pembangkit listrik, namun itupun kini sudah dikuasai pasukan Israel yang memblokade total  di Gaza.

Sejak Rabu (11/10/2023), penduduk Gaza hidup dalam keadaan gelap gulita karena tidak ada listrik. Padahal dalam kondisi normal pun, pembangkit listrik Gaza belum mampu menyuplai listrik untuk seluruh warga Gaza.

Dalam keadaan normal, listrik di Gaza hanya menyala selama 13 jam dalam sehari. Mereka bahkan sering mengalami mati lampu karena terkena giliran pemadaman untuk penerangan wilayah lainnya.

Warga Jalur Gaza membeli hampir dua pertiga listriknya dari Israel, dan sisanya dihasilkan oleh Pembangkit Listrik Gaza (GPP). Namun, pasokan gabungan tersebut hanya memenuhi kurang dari setengah permintaan.

Untuk mengatasi hal tersebut, penyedia layanan dan rumah tangga harus menggunakan generator cadangan. Namun, generator-generator ini tidak dapat diandalkan karena ketergantungannya pada bahan bakar dan suku cadang yang langka karena diblokade Israel. 

Saat ini, lebih dari 600.000 orang juga tidak memiliki air minum akibat keputusan Israel untuk memutus pasokan air. Pompa air dan sistem pembuangan air limbah setempat juga membutuhkan bahan bakar untuk dapat berfungsi.

Israel menutup seluruh titik-titik penyeberangan barang di Jalur Gaza. Termasuk penyeberangan Kerem Shalom yang merupakan titik penyeberangan makanan terbesar di Gaza. Biasanya bantuan logistik pangan PBB atau dari dunia internasional melalui titik ini.

Tapi kini, lokasi penyeberangan yang dikuasai sepenuhnya oleh Otoritas Bandara Israel, ditutup Israel.

Toko-toko makanan di Jalur Gaza dilaporkan kekurangan stok makanan. Penduduk Gaza pun hanya mencukupkan diri mereka dengan makan satu kali sehari karena pasokan makanan tidak ada.

Sedikitnya 200.000 orang telah mengungsi, setelah melarikan diri karena takut akan nyawa mereka atau karena rumah mereka telah dihancurkan dalam serangan udara. Sebagian besar berlindung di sekolah-sekolah PBB.

Mirisnya, di sisi lain, penduduk Gaza juga relatif tidak bisa ‘keluar’ mengungsi dari wilayah tersebut karena perbatasan ditutup. Sehingga warga Gaza menjadi terjebak dalam wilayah perang yang membuat mereka menderita. 

Perbatasan Erez di jalur utara Gaza ditutup Israel, kemudian perbatasan Rafah yang dikuasai Mesir di bagian selatan juga ditutup mulai 9 Oktober 2023. Warga Gaza betul-betul terjebak dalam penderitaan yang panjang.

Padahal sebelum eskalasi konflik meningkat pun, warga Gaza tidak bisa bebas keluar dari Gaza. Semua ijin keluar wilayah dipegang otoritas Israel.

Mereka hanya boleh meninggalkan Gaza jika memiliki izin keluar yang dikeluarkan oleh Israel. Izin tersebut pun terbatas hanya berlaku untuk para pekerja harian, pengusaha, pasien medis dan pendamping mereka, serta pekerja bantuan lembaga internasional.

Sementara warga sipil biasa, jangan pernah bermimpi bisa keluar dari Gaza.

Kini penduduk Gaza semakin menderita akibat perang yang tidak berkesudahan. Selain tidak ada makanan dan air, tanpa listrik dan BBM, serta kekurangan obat-obatan, mereka juga hidup di bawah bayang-bayang kematian. 

Kapanpun bom tentara Israel bisa meluluhlantakan rumah dan menghilangkan nyawa mereka dalam sekejap.  

Share :

Posted in

Berita Terkait

Rekomendasi untuk Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

iklanIKN

Berita Terbaru

Rekomendasi Untuk Anda

Berita Terpopuler

Share :